Di kota Bandung ada sebuah jalan yang tak saya temukan di tempat lain
yakni Jalan Dipati Ukur. Saya pun bertanya-tanya siapakah gerangan
Dipati Ukur ini? Seorang pahlawan lokal layaknya Jalan Samadikun di
Cirebon atau hanya nama dari tokoh legenda seperti Sangkuriang. Membuat
penasaran. Ketika saya bertanya ke Google pun hasilnya sama saja, malah
bertambah bingung karena ternyata kisah Dipati Ukur terlalu banyak
versinya. Bahkan dari banyaknya versi itu untuk menentukan di mana
Dipati Ukur ini wafat dan dimakamkan pun sangat bias. Ada sumber yang
mengatakan kalau makam Raden Dipati Ukur itu di Kabuyutan, dekat
jembatan kereta api, antara Soreang - Ciweday. Sumber lain mengatakan
kalau Dipati Ukur adalah seorang Dipati yang berperang melawan Mataram,
tertangkap di Gunung Rakutuk (tempat di mana Kartosuwiryo gembong DI/TII
tertangkap) dekat pengalengan. Makamnya di Baleendah (dulu bernama
Pabuntelan). Dan versi lainnya yang saya temukan adalah bahwa ketika
Dipati Ukur bentrok dengan Mataram, beliau tertangkap di Gunung Lumbung,
dekat Pengalengan, kemudian dibawa ke Mataram dan dihukum mati di
alun-alun Mataram. Makin bingung.
Tapi dari cerita di atas jelas Dipati Ukur merupakan orang besar yang
karena misterinya membuat beliau menjadi semacam mitos dan legenda tanpa
kejelasan sejarah. Tapi, menurut salah atu sumber, penyebab dari tak
ada kejelasan sejarah mengenai Dipati Ukur tersebab karena pada waktu
itu Dipati Ukur merupakan salah satu orang yang paling dicari oleh
Mataram yang oleh karenanya rakyat menjadi takut untuk menceritakan
kisah Dipati Ukur seutuhnya. Kisah itu pun menjadi terpenggal-penggal
dan banyak versi seperti halnya puzzle yang terberai.
Meskipun begitu, tak berarti mencari kejelasan sejarah dan kisah Dipati
Ukur menjadi buntu karenanya. Ada beberapa disertasi yang bisa dijadikan
tolak ukur untuk mencari kejelasan kisah sesungguhnya dari Dipati Ukur
ini. Dan karena disertasi merupakan karya ilmiah yang keakuratan datanya
didapat dari berbagai penelitian sekaligus fakta-fakta sejarah yang
dapat dipertanggungjawabkan maka saya lebih memilih disertasi tersebut
sebagai sumber tulisan dari kisah Dipati Ukur ini sekarang. Disertasi
itu antara lain disertasi milik Edi S. Ekajati (Carita Dipati Ukur Karya
Sastra Sejarah Sunda), disertasi Emuch Herman Sumantri (Sejarah
Sukapura, Sebuah Telaah Filologis) dan hasil penelitian dari Atja, Saleh
Danasasmita dan Ayat Rohaedi dari Naskah Pangeran Wangsakerta (Nagara
Kerta Bumi 1.5). Dari ketiga sumber itulah saya akan menceritakan
tentang Dipati Ukur itu di sini.
Pengaruh Mataram di Tatar Sunda
Sebelum lebih jauh bercerita tentang Dipati Ukur ada baiknya kalau saya
menyertakan terlebih dahulu tentang fakta sejarah yang menyertainya
yakni kerajaan Galuh. Kerajaan Galuh merupakan sebuah kerajan di bawah
naungan Tarumanegara yang didirikan pada tahun 612 oleh Wretikandayun
dan berhasil ditaklukan oleh kerajaan Islam Cirebon pada tahun 1528.
Cerita lengkapnya sendiri adalah bahwa pada tahun 1524, datanglah
Fadhilah Khan ke Cirebon. Beliau adalah putra dari Sultan Huda di
Samudera Pasai. Orang Portugis menyebut Fadhilah Khan sebagai Faletehan.
Sebelum diangkat menjadi panglima prajurit Demak, oleh Sultan
Trenggono, Faletehan diberi tugas untuk menyebarkan Islam di daerah
Kekuasaan Pajajaran yakni Cirebon membantu Syarief Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati).
Gabungan prajurit Demak dan Cirebon akhirnya pada tahun 1526 menguasai
Banten. Kemudian Sunda Kelapa dan Pelabuan Pajajaran pun dapat dikuasai
pada tahun 1527, Kerajaan Hindu Talaga (Majalengka) ditaklukan tahun
1529 (panglima perangnya waktu itu adalah Pangeran Walangsungsang). Dan
puncaknya adalah pada tahun 1579 gabungan prajurit Demak, Cirebon dan
Banten ini akhirnya dapat meruntuhkan pusat kerajaan Sunda Pakuan. Dari
beberapa kerajaan penting di tatar Sunda yang ditaklukan oleh pasukan
Gabungan itulah akhirnya semakin membuka jalan bagi Mataram untuk
menguasai tatar Sunda.
Pada tahun 30 Mei 1619, VOC datang ke Jakarta yang waktu itu bernama
Batavia untuk mendirikan kongsi dagang di sana. Kongsi dagang VOC ini
cepat sekali maju pesat karena VOC menerapkan sistem monopoli pada
wilayah dagangnya bahkan hingga ke wilayah dagang di daerah kekuasan
Mataram. Sontak saja Sultan Agung yang berkuasa waktu itu menjadi geram
karena polah tingkah VOC ini membuat tataniaga Mataram menjadi
tersendat. Merasa dirugikan oleh pola tingkah VOC, Mataram pada tahun
1628 memutuskan untuk menyerang Batavia. Gagal, mencoba kembali di tahun
1629 tetap gagal.
Pemberontakan Dipati Ukur
Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar
Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan
Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur,
untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan
dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada
semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di
Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah
seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang
sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan
takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan
untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu
bantuan pasukan dari Jawa. Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin
oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang
dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena
merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang
mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan
Sunda..
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat
dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang
mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya
sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan
pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam
rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa
Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu
pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan
kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda
mereka.
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk
menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur,
atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan
kelakuan para utusan mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung
menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada
satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan
Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap
teman-temannya.
Dalam ‘Nagara Karta Bumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung
adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal.
Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum
mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari
hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal
menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur.
Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur
dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya,
penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh
karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada
Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur
pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Aklhirnya Sultan Agung pun
menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan
Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari
Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak
sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur
mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi
Kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian
ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju,
Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian
laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita
dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa
dari Sukakerta.
Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan
kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba bagus
Sutaputra, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati
Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh
Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah
pertarungan sengit antar keduanya (adikabarkan hingga 40 hari 40 malam).
Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus
kemudian di bawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun
akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal
kepalanya.
Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian
kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak
kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang
membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan
kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin,
inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan
sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar