Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk kegunaan lain dari Aceh, lihat Aceh (disambiguasi).
Aceh اچيه |
|||||
---|---|---|---|---|---|
|
|||||
Mesjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh | |||||
Julukan: Serambi Mekkah | |||||
Semboyan: "Pancacita" (dari bahasa Sanskerta yang artinya "Lima cita-cita") |
|||||
Hari jadi | 7 Desember 1959 | ||||
Dasar hukum | UU Nomor 11 Tahun 2006 | ||||
Ibu kota | Banda Aceh (dulu Koetaradja) | ||||
Kota besar lainnya | Lhokseumawe | ||||
Area | |||||
- Total luas | 58.375,63 km2 | ||||
- Latitude | 1º 40' - 6º 30' LU | ||||
- Longitude | 94º 40' - 98º 30' BT | ||||
Populasi | Peringkat 14 | ||||
- Total | 4.494.410 (2010)[1] | ||||
Pemerintahan | |||||
- Gubernur | Zaini Abdullah | ||||
- Wagub | Muzakir Manaf | ||||
- Ketua DPRD | Teungku Muharuddin | ||||
- Sekda | Dermawan | ||||
- Kabupaten | 18[2] | ||||
- Kota | 5[3] | ||||
- Kecamatan | 276[4] | ||||
- Kelurahan | 6.455[5] | ||||
APBD (2015) | Rp12.755.643.725.149,- [6] (total) | ||||
- PAD | Rp1.883.113.759.049,- [6] | ||||
- DAU | Rp1.237.894.986.000,- [6] | ||||
- DAK | Rp88.582.570.000,- [6] | ||||
Demografi | |||||
- Suku bangsa | Aceh (70,65%), Jawa (8,94%), Gayo (7,22%), Batak (3,29%), Alas (2,13%), Simeulue (1,49%), Aneuk Jamee (1,40%), Tamiang (1,11%), Singkil (1,04%), Minangkabau (0,74%)[7] | ||||
- Agama | Islam (98,19%), Kristen (1.12%), Katolik (0,07%), Hindu (0,003%), Budha (0,16%), Konghucu (0,0008%), lain-lain (0,006%)[8] | ||||
- Bahasa | Aceh dan Indonesia (Resmi). | ||||
Zona waktu | WIB (UTC+7) | ||||
Lagu daerah | Bungong Jeumpa | ||||
Situs web | www |
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama).[9] Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam.[10] Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.[11]
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia.[9] Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut.[12] Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Daftar isi
Sejarah
Asal nama
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang).[13] Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.Jaman prasejarah
Aceh telah dihuni manusia sejak zaman Mesolitikum, hal ini dibuktikan dengan keberadaan situs Bukit Kerang yang diklaim sebagai peninggalan zaman tersebut di kabupaten Aceh Tamiang. Selain itu pada situs lain yang dinamakan dengan Situs Desa Pangkalan juga telah dilakukan ekskavasi serta berhasil ditemukan artefak peninggalan dari zaman Mesolitikum berupa kapak Sumatralith, fragmen gigi manusia, tulang badak, dan beberapa peralatan sederhana lainnya. Selain di kabupaten Aceh Tamiang, peninggalan kehidupan prasejarah di Aceh juga ditemukan di dataran tinggi Gayo tepatnya di Ceruk Mendale dan Ceruk Ujung Karang yang terdapat disekitar Danau Laut Tawar. Penemuan situs prasejarah ini mengungkapkan bukti adanya hunian manusia prasejarah yang telah berlangsung disini pada sekitar 7.400 hingga 5.000 tahun yang lalu.Jaman kerajaan
Jaman kerajaan Hindu-Buddha
Masuknya Islam
Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian.[15]
Sebagian lagi, ada yang berpandangan bahwa Islam yang datang ke Aceh justru sudah dimulai dari sejak tahun pertama Hijriyah (618 M). Satu pandangan yang menurut penulis buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan tidak masuk akal. Alasan yang dikemukakannya adalah pada masa tersebut; ada kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan wahyu kedua kepada Muhammad selama 2,5 tahun. Ditambah dengan masa berdakwah secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan demikian baru pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah secara terang-terangan.[16]
Tetapi sedikitnya persoalan demikian bisa ditelusuri dari keberadaan kerajaan pertama bercorak Islam di Aceh, Kerajaan Perlak yang didirikan pada 1 Muharram 225 Hijriyyah.[17]
Kesultanan Aceh
Aceh Darussalam pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam (Sultan Aceh ke 19), merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Perang Aceh
Setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Bahkan, pada hari pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen harus mengalami 12 tembakan meriam dari pasukan Aceh[19].
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda.
Perang Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.
Jaman penjajahan
Bangkitnya nasionalisme
Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai pada tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernapaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.
Pasca kemerdekaan Indonesia
Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari Aceh dan membentuk provinsi-provinsi baru.
Darul Islam / Tentara Islam Indonesia
Aceh yang semula bergabung dengan Indonesia dengan jaminan Soekarno akan menerapkan syariat Islam, merasa kecewa karena syariat Islam tidak dijadikan sebagai landasan negara. Sehingga pada tanggal 13 Muharram 1372 H/21 September 1953 M, Teungku Muhammad Daud Beureu'eh atas nama rakyat Aceh mengumumkan bergabung dengan Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Kartosoewirjo.[20]Gerakan Aceh Merdeka
Politik dan pemerintahan
Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan, perbedaan yang tampak adalah adanya Pemerintahan Mukim di antara kecamatan dan gampong.Sistem Pemerintahan Indonesia
Perwakilan
Pada tingkat provinsi, DPRA hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 tersusun dari sepuluh partai, dengan perincian sebagai berikut:
Partai | Kursi |
---|---|
Partai Aceh | 29 |
Partai Golkar | 9 |
Partai Demokrat | 8 |
Partai NasDem | 8 |
PAN | 7 |
PPP | 6 |
PKS | 4 |
PNA | 3 |
Partai Gerindra | 3 |
PDA | 1 |
PKB | 1 |
PBB | 1 |
PKPI | 1 |
Total | 81 |
Sistem Pemerintahan Lokal Aceh
Sistem pemerintahan lokal Aceh terdiri dari gampông, mukim, nanggroë, sagoë dan keurajeun.Demografi
Suku bangsa
Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut: Aceh (50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), lain-lain (10,09%)[21] Namun sensus tahun 2000 ini dilakukan ketika Aceh dalam masa konflik sehingga cakupannya hanya menjangkau kurang dari setengah populasi Aceh saat itu. Masalah paling serius dalam pencacahan ditemui di kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara, dan tidak ada data sama sekali yang dikumpulkan dari kabupaten Pidie. Ketiga kabupaten ini merupakan kabupaten dengan mayoritas suku Aceh.[22]
Berdasarkan sensus 2010 di peroleh hasil 10 suku bangsa terbesar di Aceh, yaitu:[23]
No | Suku Bangsa | Jumlah | Persentase |
---|---|---|---|
1 | Suku Aceh | 3.160.728 | 70,65 |
2 | Suku Jawa | 399.976 | 8,94 |
3 | Suku Gayo | 322.996 | 7,22 |
4 | Suku Batak | 147.295 | 3,29 |
5 | Suku Alas | 95.152 | 2,13 |
6 | Suku Simeulue | 66.495 | 1,49 |
7 | Suku Aneuk Jamee | 62,838 | 1,40 |
8 | Suku Tamiang | 49.580 | 1,11 |
9 | Suku Singkil | 46.600 | 1,04 |
10 | Suku Minangkabau | 33.112 | 0,74 |
11 | Lain-lain | 89.172 | 1,99 |
Bahasa
Bahasa daerah yang paling banyak dipakai di Aceh adalah Aceh yang dituturkan oleh etnis Aceh di sepanjang pesisir Aceh dan sebagian pedalaman Aceh. Bahasa lain nya adalah Bahasa Gayo di Aceh bagian tengah, Bahasa Alas di Aceh Tenggara, Bahasa Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Bahasa Singkil dan Bahasa Pakpak di Aceh Singkil, Bahasa Kluet di Aceh Selatan, Bahasa Melayu Tamiang di Aceh Tamiang, Di Simeulue bagian utara dijumpai Bahasa Sigulai dan Bahasa Lekon, sedangkan di selatan simeulue di jumpai Bahasa Devayan, Bahasa Haloban.Agama
Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.
Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam, berdasar UU No.18/2001. Kalangan intelektual Aceh sendiri masih memperdebatkan apakah yang diberlakukan di Aceh sudah benar-benar syariat atau itu cuma karena alasan politis saja.[24] Alasan yang juga kemudian disebutkan adalah kondisi konkret ketika itu berkenaan dengan politik, polemik di kalangan jumhur ulama soal bisa tidaknya hukum Islam diproduksi pasca kenabian selain persoalan dualisme aliran dalam Islam, dua aliran besar dalam tradisi tafsir hukum Islam.[25]
Pendidikan
Aceh juga memiliki sejumlah perguruan tinggi yaitu:
- Universitas Syiah Kuala
- Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
- Universitas Samudra Langsa
- Universitas Malikussaleh
- Politeknik Negeri Lhokseumawe
- Politeknik Aceh
- STAIN Malikussaleh
- IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa
- Universitas Abulyatama
- Universitas Almuslim
- Universitas Muhammadiyah Aceh
- Universitas Iskandar Muda
- Universitas Serambi Mekkah
- Universitas Jabal Ghafur
Seni dan Budaya
- Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
- Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)
Sastra
- Bustanussalatin
- Hikayat Prang Sabi
- Hikayat Malem Diwa
- Legenda Amat Rhang Manyang
- Legenda Putroe Neng
- Legenda Magasang dan Magaseueng
Senjata tradisional
Rencong adalah senjata tradisional suku Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori belati.Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti sikin panyang, peurise awe, peurise teumaga, siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rumah Tradisional
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).Tarian
Tarian Suku Aceh
- Tari Laweut
- Tari Likok Pulo
- Tari Pho
- Tari Ranup lam Puan
- Tari Rapa'i Geleng
- Tari Rateb Meuseukat
- Tari Ratoh Duek
- Tari Seudati
- Tari Tarek Pukat
Tarian Suku Alas
Tarian Suku Melayu Tamiang
Makanan Khas
Iklim
Sebagai wilayah yang berada tidak jauh dari garis khatulistiwa, iklim di Aceh hampir seluruhnya tropis. Pada wilayah pesisir pantai suhu udara rata-rata 26,9 °C, suhu udara maksimum mencapai 32,5 °C dan minimum 22,9 °C. Kelembaban relatif daerah ini berkisar antara 70 dan 80 persen. Antara bulan Maret sampai Agustus Aceh mengalami fase musim kemarau, kondisi ini dipengaruhi oleh massa udara benua Australia. Sementara musim hujan berlangsung antara bulan September hingga Februari yang dihasilkan dari massa udara daratan Asia dan Samudera Pasifik. Aceh memiliki curah hujan yang bervariasi berkisar antara 1.500-2.500 mm per tahun.[26]Geografi
Provinsi Aceh menempati wilayah ujung paling barat di pulau Sumatera dan Negara Indonesia, dimana titik terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di Pulau Rondo, sementara itu kilometer Nol Indonesia berada di pulau Weh. Secara geografis Aceh terletak antara 2° - 6° lintang utara dan 95° – 98° lintang selatan dengan ketinggian rata-rata 125 meter diatas permukaan laut. Batas batas wilayah Aceh, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan adalah satu-satunya perbatasan darat dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah barat dengan Samudra Hindia.[27]Luas Provinsi Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2.290.874 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 ha. Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha. Cakupan wilayah Aceh terdiri dari 119 pulau, 35 gunung dan 73 sungai utama.[27]
Perekonomian
Sumber daya alam
Perbankan
Aceh terdapat dua kantor Bank Indonesia, bank sentral Republik Indonesia, yang dibuka di Banda Aceh (kelas III) dan Lhokseumawe (kelas IV). Tugas Bank Indonesia yang terdiri dari bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. Di daerah-daerah tugas Bank Indonesia lebih dominan di bidang sistem pembayaran dan perbankan.Di bidang sistem pembayaran menyelenggarakan sistem kliring dan BI-RTGS dan di bidang perbankan mengawasi dan membina bank-bank agar beroperasi dengan sehat dan menguntungkan.
Industri
Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya- PT Arun: Kilang Pencairan Gas Alam di Lhokseumawe
- PT Pupuk Iskandar Muda (PIM): Pabrik Pupuk Iskandar Muda di Lhokseumawe
- PT Aceh Asean Fertilizer (AAF): Pabrik Pupuk Asean di Lhokseumawe
- PT Kertas Kraft Aceh (KKA): Pabrik Kertas di Lhokseumawe
- PT Semen Andalas Indonesia-Lafarge (SAI): Semen Andalas di Aceh Besar
- ExxonMobil: Kilang Gas Alam di Lhokseumawe
Pertambangan
- Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah
- Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat,
- Batu gamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan
Pariwisata
- Masjid Raya Baiturrahman
- Museum Aceh
- Taman Putroe Phang
- Kuburan Kerkhoff
- Danau Laut Tawar
- Danau Aneuk Laot
- Pantai Lhok Nga
- Museum Tsunami Aceh
- Guha Tujoh di Laweueng
Pra-tsunami 2004
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektare tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.
Pasca-tsunami 2004
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.
Lainnya
Pahlawan
Pahlawan Perempuan
Pahlawan Pria
- Sultan Iskandar Muda
- Teungku Chik Di Tiro
- Teuku Umar
- Panglima Polem
- Teuku Nyak Arif
- Mr. Teuku Muhammad Hasan[28]
Tokoh asal Aceh
- Lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh.
- Sultan Hadlirin
- Hamzah Fansuri
- Nuruddin ar-Raniri
- Syiah Kuala
- Syamsuddin al-Sumatrani
- Tun Sri Lanang
- Teungku Chik Pante Kulu
- Ismail al-Asyi
- Mohamad Kasim Arifin
- Teungku Hasan Muhammad di Tiro
- P. Ramlee
- Teungku Ahmad Dewi
- Teungku Daud Beureu'eh
Referensi
- ^ Sensus Penduduk 2010
- ^ Jumlah kabupaten di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ Jumlah kota di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ Jumlah kecamatan di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ Jumlah gampong/kelurahan di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ a b c d Lampiran I Peraturan Gubernur Aceh Nomor 3 Tahun 2005
- ^ Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, dan Agus Pramono (2015). Demography of Indonesia’s Ethnicity. Institute of Southeast Asian Studies dan BPS – Statistics Indonesia.
- ^ Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut - Provinsi Aceh
- ^ a b How An Escape Artist Became Aceh's Governor, Time Magazine, Feb. 15, 2007
- ^ http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b2/Countries_with_Sharia_rule.png
- ^ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
- ^ United Nations. Economic and social survey of Asia and the Pacific 2005. 2005, page 172
- ^ Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, dalam Pergub tersebut ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar