Selasa, 16 Mei 2017

aceh

Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk kegunaan lain dari Aceh, lihat Aceh (disambiguasi).
Aceh
اچيه
Bendera Lambang
Bendera Lambang
Meuseujid Raya.JPG
Mesjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh
Julukan: Serambi Mekkah
Semboyan: "Pancacita"
(dari bahasa Sanskerta yang artinya "Lima cita-cita")
Locator Aceh final.png
Hari jadi 7 Desember 1959
Dasar hukum UU Nomor 11 Tahun 2006
Ibu kota Banda Aceh (dulu Koetaradja)
Kota besar lainnya Lhokseumawe
Area
 - Total luas 58.375,63 km2
 - Latitude 1º 40' - 6º 30' LU
 - Longitude 94º 40' - 98º 30' BT
Populasi Peringkat 14
 - Total 4.494.410 (2010)[1]
Pemerintahan
 - Gubernur Zaini Abdullah
 - Wagub Muzakir Manaf
 - Ketua DPRD Teungku Muharuddin
 - Sekda Dermawan
 - Kabupaten 18[2]
 - Kota 5[3]
 - Kecamatan 276[4]
 - Kelurahan 6.455[5]
APBD (2015) Rp12.755.643.725.149,- [6] (total)
 - PAD Rp1.883.113.759.049,- [6]
 - DAU Rp1.237.894.986.000,- [6]
 - DAK Rp88.582.570.000,- [6]
Demografi
 - Suku bangsa Aceh (70,65%), Jawa (8,94%), Gayo (7,22%), Batak (3,29%), Alas (2,13%), Simeulue (1,49%), Aneuk Jamee (1,40%), Tamiang (1,11%), Singkil (1,04%), Minangkabau (0,74%)[7]
 - Agama Islam (98,19%), Kristen (1.12%), Katolik (0,07%), Hindu (0,003%), Budha (0,16%), Konghucu (0,0008%), lain-lain (0,006%)[8]
 - Bahasa Aceh dan Indonesia (Resmi).
Zona waktu WIB (UTC+7)
Lagu daerah Bungong Jeumpa
Situs web www.acehprov.go.id
Aceh (/ˈɑː/; [ʔaˈtɕɛh]) adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama).[9] Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam.[10] Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.[11]
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia.[9] Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut.[12] Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sejarah

Asal nama

Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang).[13] Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.

Jaman prasejarah

Aceh telah dihuni manusia sejak zaman Mesolitikum, hal ini dibuktikan dengan keberadaan situs Bukit Kerang yang diklaim sebagai peninggalan zaman tersebut di kabupaten Aceh Tamiang. Selain itu pada situs lain yang dinamakan dengan Situs Desa Pangkalan juga telah dilakukan ekskavasi serta berhasil ditemukan artefak peninggalan dari zaman Mesolitikum berupa kapak Sumatralith, fragmen gigi manusia, tulang badak, dan beberapa peralatan sederhana lainnya. Selain di kabupaten Aceh Tamiang, peninggalan kehidupan prasejarah di Aceh juga ditemukan di dataran tinggi Gayo tepatnya di Ceruk Mendale dan Ceruk Ujung Karang yang terdapat disekitar Danau Laut Tawar. Penemuan situs prasejarah ini mengungkapkan bukti adanya hunian manusia prasejarah yang telah berlangsung disini pada sekitar 7.400 hingga 5.000 tahun yang lalu.

Jaman kerajaan

Jaman kerajaan Hindu-Buddha


Arca Awalokiteswara bergaya Sriwijaya yang ditemukan di Aceh diperkirakan dari abad ke-9. Sekarang tersimpan di Museum Nasional Indonesia.
Sebagaimana daerah lain di kepulauan Nusantara, Aceh juga pernah mengalami masa berkembangnya agama Hindu dan Budha yang datang dari daratan benua Asia. Pada masa itu di Aceh telah diwarnai dengan adanya beberapa kerajaan kecil yang berdasarkan agama tersebut misalnya Indrapuri, Indra Patra dan Indra Purwa semuanya di Aceh Besar.

Masuknya Islam


Letak Kerajaan Samudra Pasai
Masih terjadi silang pendapat terkait persoalan dari sejak kapan Islam pertama sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berpandangan sudah dimulai dari sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan[14] sebagai khalifah ketiga setelah kerasulan Muhammad SAW.
Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian.[15]
Sebagian lagi, ada yang berpandangan bahwa Islam yang datang ke Aceh justru sudah dimulai dari sejak tahun pertama Hijriyah (618 M). Satu pandangan yang menurut penulis buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan tidak masuk akal. Alasan yang dikemukakannya adalah pada masa tersebut; ada kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan wahyu kedua kepada Muhammad selama 2,5 tahun. Ditambah dengan masa berdakwah secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan demikian baru pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah secara terang-terangan.[16]
Tetapi sedikitnya persoalan demikian bisa ditelusuri dari keberadaan kerajaan pertama bercorak Islam di Aceh, Kerajaan Perlak yang didirikan pada 1 Muharram 225 Hijriyyah.[17]

Kesultanan Aceh


Wilayah Kesultanan Aceh pada masa jayanya
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Aceh Darussalam pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam (Sultan Aceh ke 19), merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Aceh


Mayor Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak di bawah pohon kelumpang di depan Masjid Raya Baiturrahman dalam Perang Aceh I
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873, dimulai dari kedatangan Jenderal J.H.R Kohler dengan jumlah pasukan sebanyak 3.198, termasuk 168 perwira KNIL[18].
Setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Bahkan, pada hari pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen harus mengalami 12 tembakan meriam dari pasukan Aceh[19].
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda.
Perang Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.

Jaman penjajahan

Bangkitnya nasionalisme


Replika pesawat Dakota RI-001 Seulawah sumbangan rakyat Aceh di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerja sama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).
Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai pada tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernapaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.

Pasca kemerdekaan Indonesia


Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, ulama pemimpin perjuangan DI/TII Aceh
Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.
Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari Aceh dan membentuk provinsi-provinsi baru.

Darul Islam / Tentara Islam Indonesia

Aceh yang semula bergabung dengan Indonesia dengan jaminan Soekarno akan menerapkan syariat Islam, merasa kecewa karena syariat Islam tidak dijadikan sebagai landasan negara. Sehingga pada tanggal 13 Muharram 1372 H/21 September 1953 M, Teungku Muhammad Daud Beureu'eh atas nama rakyat Aceh mengumumkan bergabung dengan Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Kartosoewirjo.[20]

Gerakan Aceh Merdeka


Panglima GAM, Abdullah Syafi'i bersama laskar Inong Balee
Pasca Gempa dan Tsunami 2004, yaitu pada 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik di Aceh. Perjanjian ini ditandatangani di Finlandia, dengan peran besar daripada mantan petinggi Finlandia, Martti Ahtisaari.

Politik dan pemerintahan

Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan, perbedaan yang tampak adalah adanya Pemerintahan Mukim di antara kecamatan dan gampong.

Sistem Pemerintahan Indonesia


Kabupaten dan Kota di Aceh
Sejak tahun 1999, Aceh telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 5 pemerintahan kota dan 18 kabupaten sebagai berikut:

No. Kabupaten/Kota Pusat pemerintahan Bupati/Wali Kota Luas (km2) Jumlah penduduk Kecamatan Kelurahan/desa Logo
Coat of arms of Aceh.svg
1 Kabupaten Aceh Barat Meulaboh T. Alaidinsyah 2.927,95 172.896 12 321
Lambang Kabupaten Aceh Barat.png
2 Kabupaten Aceh Barat Daya Blangpidie Jufri Hasanuddin 1.490,60 125.991 9 132
Lambang-abdya.jpg
3 Kabupaten Aceh Besar Kota Jantho Mukhlis Basyah 2.969,00 350.225 23 609
Lambang Kabupaten Aceh Besar.png
4 Kabupaten Aceh Jaya Calang Azhar Abdurrahman 3.812,99 76.892 9 173
Coat of arms of Aceh Jaya.jpg
5 Kabupaten Aceh Selatan Tapak Tuan Sama Indra 3.841,60 202.003 16 369
Lambang Kabupaten Aceh Selatan.png
6 Kabupaten Aceh Singkil Singkil Safriadi Manik 2.185,00 102.213 10 127
Lambang Kabupaten Aceh Singkil.png
7 Kabupaten Aceh Tamiang Karang Baru Hamdan Sati 1.956,72 250.992 12 128
Lambang Kabupaten Aceh Tamiang.png
8 Kabupaten Aceh Tengah Takengon Nasaruddin 4.318,39 175.329 14 268
Lambang Kabupaten Aceh Tengah.png
9 Kabupaten Aceh Tenggara Kutacane Hasanuddin Beruh 4.231,43 178.852 11 164
Lambang Kabupaten Aceh Tenggara.png
10 Kabupaten Aceh Timur Idi Rayeuk Hasballah M. Thaib 6.286,01 359.280 21 580
Lambang Kabupaten Aceh Timur.png
11 Kabupaten Aceh Utara Lhoksukon Muhammad Thaib 3.236,86 529.746 27 1.160
Lambang kab acehutara.png
12 Kabupaten Bener Meriah Simpang Tiga Redelong Rusli M Saleh (Plt.) 1.454,09 121.870 7 232
Lambang Kabupaten Bener Meriah.png
13 Kabupaten Bireuen Bireuen Ruslan M. Daud 1.901,20 389.024 17 514
Logo Bireuen.jpg
14 Kabupaten Gayo Lues Blang Kejeren Ibnu Hasyim 5.719,58 79.592 11 97
Lambang Gayo Lues.png
15 Kabupaten Nagan Raya Suka Makmue T. Zulkarnaini 3.363,72 138.670 5 213
Lambang Kabupaten Nagan Raya.png
16 Kabupaten Pidie Sigli Sarjani Abdullah 3.086,95 378.278 22 946
Logo Kabupaten Pidie.jpg
17 Kabupaten Pidie Jaya Meureudu Aiyub Abbas 1.073,60 132.858 8 215
Lambang Kabupaten Pidie Jaya.png
18 Kabupaten Simeulue Sinabang Riswan NS 2.051,48 80.279 8 135
LOGO KABUPATEN SIMEULUE.png
19 Kota Banda Aceh - Illiza Sa'aduddin Djamal 61,36 224.209 9 80
Lambang Kota Banda Aceh.png
20 Kota Langsa - Usman Abdullah 262,41 148.904 5 52
Pemko langsa.jpg
21 Kota Lhokseumawe - Suaidi Yahya 181,06 170.504 4 67
Lambang Kota Lhokseumawe.gif
22 Kota Sabang - Zulkifli H Adam 153,00 30.647 2 18
Lambang Kota Sabang.png
23 Kota Subulussalam - Merah Sakti Kombih 1.391,00 67.316 5 74
Lambang Kota Subulussalam.png

Perwakilan


Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

Meuligoe, tempat kediaman gubernur Aceh
Berdasarkan Pemilihan umum legislatif 2014, Provinsi Aceh mengirim 13 wakil ke DPR RI dari dua daerah pemilihan dan empat wakil ke DPD.
Pada tingkat provinsi, DPRA hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 tersusun dari sepuluh partai, dengan perincian sebagai berikut:
Partai Kursi
Lambang Partai Aceh Partai Aceh 29
Lambang Partai Golkar Partai Golkar 9
Lambang Partai Demokrat Partai Demokrat 8
Lambang Partai NasDem Partai NasDem 8
Lambang PAN PAN 7
Lambang PPP PPP 6
Lambang PKS PKS 4
Lambang PNA PNA 3
Lambang Partai Gerindra Partai Gerindra 3
Lambang PDA PDA 1
Lambang PKB PKB 1
Lambang PBB PBB 1
Lambang PKPI PKPI 1
Total 81

Sistem Pemerintahan Lokal Aceh

Sistem pemerintahan lokal Aceh terdiri dari gampông, mukim, nanggroë, sagoë dan keurajeun.

Demografi

Suku bangsa


Rambu peringatan tsunami dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Aceh
Aceh memiliki 13 suku bangsa asli. Yang terbesar adalah Suku Aceh yang mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai dengan Trumon di pesisir barat selatan. Suku lain nya adalah Suku Gayo, Suku Gayo Lut, Suku Gayo Luwes, Suku Gayo Serbe Jadi yang mendiami wilayah pegunungan di tengah Aceh. Selain itu juga dijumpai suku-suku lainnya seperti, Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Singkil dan Pakpak di Subulussalam, Singkil dan Alas di Aceh Tenggara, Kluet di Aceh Selatan dan Tamiang di Aceh Tamiang, dan di Pulau Simeulue terdapat Suku Sigulai.
Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut: Aceh (50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), lain-lain (10,09%)[21] Namun sensus tahun 2000 ini dilakukan ketika Aceh dalam masa konflik sehingga cakupannya hanya menjangkau kurang dari setengah populasi Aceh saat itu. Masalah paling serius dalam pencacahan ditemui di kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara, dan tidak ada data sama sekali yang dikumpulkan dari kabupaten Pidie. Ketiga kabupaten ini merupakan kabupaten dengan mayoritas suku Aceh.[22]
Berdasarkan sensus 2010 di peroleh hasil 10 suku bangsa terbesar di Aceh, yaitu:[23]
No Suku Bangsa Jumlah Persentase
1 Suku Aceh 3.160.728 70,65
2 Suku Jawa 399.976 8,94
3 Suku Gayo 322.996 7,22
4 Suku Batak 147.295 3,29
5 Suku Alas 95.152 2,13
6 Suku Simeulue 66.495 1,49
7 Suku Aneuk Jamee 62,838 1,40
8 Suku Tamiang 49.580 1,11
9 Suku Singkil 46.600 1,04
10 Suku Minangkabau 33.112 0,74
11 Lain-lain 89.172 1,99

Bahasa

Bahasa daerah yang paling banyak dipakai di Aceh adalah Aceh yang dituturkan oleh etnis Aceh di sepanjang pesisir Aceh dan sebagian pedalaman Aceh. Bahasa lain nya adalah Bahasa Gayo di Aceh bagian tengah, Bahasa Alas di Aceh Tenggara, Bahasa Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Bahasa Singkil dan Bahasa Pakpak di Aceh Singkil, Bahasa Kluet di Aceh Selatan, Bahasa Melayu Tamiang di Aceh Tamiang, Di Simeulue bagian utara dijumpai Bahasa Sigulai dan Bahasa Lekon, sedangkan di selatan simeulue di jumpai Bahasa Devayan, Bahasa Haloban.

Agama

Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.
Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.
GPIB di Banda Aceh
Vihara Dharma Bhakti di Banda Aceh
Gereja Katolik Hati Kudus di Banda Aceh
Kuil Hindu Palani Andawar di Banda Aceh
Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam, berdasar UU No.18/2001. Kalangan intelektual Aceh sendiri masih memperdebatkan apakah yang diberlakukan di Aceh sudah benar-benar syariat atau itu cuma karena alasan politis saja.[24] Alasan yang juga kemudian disebutkan adalah kondisi konkret ketika itu berkenaan dengan politik, polemik di kalangan jumhur ulama soal bisa tidaknya hukum Islam diproduksi pasca kenabian selain persoalan dualisme aliran dalam Islam, dua aliran besar dalam tradisi tafsir hukum Islam.[25]

Pendidikan


Gedung rektor Unsyiah
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan dan penganaktirian dari RI, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada Ujian Akhir Nasional 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.
Aceh juga memiliki sejumlah perguruan tinggi yaitu:

Tugu Darussalam yang menandakan pendirian Kopelma Darussalam
Negeri
Swasta

Seni dan Budaya



Rumoh Aceh, rumah adat Aceh di Museum Aceh
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:

Sastra

  • Bustanussalatin
  • Hikayat Prang Sabi
  • Hikayat Malem Diwa
  • Legenda Amat Rhang Manyang
  • Legenda Putroe Neng
  • Legenda Magasang dan Magaseueng

Senjata tradisional

Rencong adalah senjata tradisional suku Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori belati.
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti sikin panyang, peurise awe, peurise teumaga, siwah, geuliwang dan peudeueng.

Rumah Tradisional

Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).

Tarian


Tari Seudati di Sama Langa tahun 1907

Tari Saman dari Gayo Lues
Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.
Tarian Suku Aceh
Tarian Suku Gayo
Tarian Suku Alas
Tarian Suku Melayu Tamiang

Makanan Khas


Mi Aceh tumis dengan daging
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai bebek, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh. Di Pidie Jaya terkenal dengan kue khas Meureudu yaitu adèe. Sedangkan di kabupaten Aceh Utara lazim kita temukan kuliner khas lainnya yaitu martabak durian yang lezat. Kuliner Bireuen yang paling terkenal adalah sate matang yang merupakan sate daging sapi atau kambing yang dibakar yang pada awalnya berasal dari kota Matang Glumpang Dua. Makanan khas Kota Langsa yang sangat terkenal hingga ke seluruh Indonesia adalah Sop Sumsum yaitu berupa sop tulang daging sapi yang berisi sumsum di dalam tulangnya dan tulang daging sapi tersebut telah dipotong untuk dapat dinikmati sumsumnya menggunakan sedotan atau menuangnya langsung ke atas piring. Sop Sumsum tulang daging sapi ini disajikan panas dengan potongan-potongan daging sapi yang diracik dengan sangat gurih dan lezat menggunakan racikan bumbu khas Aceh. Sementara kuliner khas Aceh yang juga sangat terkenal bahkan hingga ke mancanegara adalah Mie Aceh, sejenis mie kuning basah yang diracik dengan bumbu khas nan pedas.

Iklim

Sebagai wilayah yang berada tidak jauh dari garis khatulistiwa, iklim di Aceh hampir seluruhnya tropis. Pada wilayah pesisir pantai suhu udara rata-rata 26,9 °C, suhu udara maksimum mencapai 32,5 °C dan minimum 22,9 °C. Kelembaban relatif daerah ini berkisar antara 70 dan 80 persen. Antara bulan Maret sampai Agustus Aceh mengalami fase musim kemarau, kondisi ini dipengaruhi oleh massa udara benua Australia. Sementara musim hujan berlangsung antara bulan September hingga Februari yang dihasilkan dari massa udara daratan Asia dan Samudera Pasifik. Aceh memiliki curah hujan yang bervariasi berkisar antara 1.500-2.500 mm per tahun.[26]

Geografi

Provinsi Aceh menempati wilayah ujung paling barat di pulau Sumatera dan Negara Indonesia, dimana titik terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di Pulau Rondo, sementara itu kilometer Nol Indonesia berada di pulau Weh. Secara geografis Aceh terletak antara 2° - 6° lintang utara dan 95° – 98° lintang selatan dengan ketinggian rata-rata 125 meter diatas permukaan laut. Batas batas wilayah Aceh, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan adalah satu-satunya perbatasan darat dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah barat dengan Samudra Hindia.[27]
Luas Provinsi Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2.290.874 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 ha. Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha. Cakupan wilayah Aceh terdiri dari 119 pulau, 35 gunung dan 73 sungai utama.[27]

Perekonomian

Sumber daya alam

Perbankan

Aceh terdapat dua kantor Bank Indonesia, bank sentral Republik Indonesia, yang dibuka di Banda Aceh (kelas III) dan Lhokseumawe (kelas IV). Tugas Bank Indonesia yang terdiri dari bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. Di daerah-daerah tugas Bank Indonesia lebih dominan di bidang sistem pembayaran dan perbankan.
Di bidang sistem pembayaran menyelenggarakan sistem kliring dan BI-RTGS dan di bidang perbankan mengawasi dan membina bank-bank agar beroperasi dengan sehat dan menguntungkan.

Industri

Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya

Pertambangan

  • Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah
  • Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat,
  • Batu gamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan

Pariwisata


Kuburan Kerkhoff

Pra-tsunami 2004

Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektare tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.

Pasca-tsunami 2004


Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 miliar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.

Kapal PLTD Apung yang dibawa oleh tsunami sampai ke darat
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 miliar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.

Lainnya

Pahlawan


Cut Nyak Dien ketika ditangkap Belanda
Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (empat jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkoff Peucut yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).

Pahlawan Perempuan

Pahlawan Pria

Tokoh asal Aceh

Lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh.

Referensi

  1. ^ Sensus Penduduk 2010
  2. ^ Jumlah kabupaten di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
  3. ^ Jumlah kota di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
  4. ^ Jumlah kecamatan di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
  5. ^ Jumlah gampong/kelurahan di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
  6. ^ a b c d Lampiran I Peraturan Gubernur Aceh Nomor 3 Tahun 2005
  7. ^ Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, dan Agus Pramono (2015). Demography of Indonesia’s Ethnicity. Institute of Southeast Asian Studies dan BPS – Statistics Indonesia.
  8. ^ Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut - Provinsi Aceh
  9. ^ a b How An Escape Artist Became Aceh's Governor, Time Magazine, Feb. 15, 2007
  10. ^ http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b2/Countries_with_Sharia_rule.png
  11. ^ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
  12. ^ United Nations. Economic and social survey of Asia and the Pacific 2005. 2005, page 172
  13. ^ Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, dalam Pergub tersebut ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di

Tidak ada komentar:

Posting Komentar